Minggu, 21 Februari 2010

BE MY VALENTINE
Sekali ini saya sudah tidak tahan lagi. Sungguh, kelakuan Raynold telah melampaui batas akal sehat dan hati saya untuk menerima dan mengalah. Dengan keyakinan pasti saya melangkah ke mejanya dengan gelas berisi es jeruk di tangan lalu menuangkan es jeruk itu di kepalanya. Raynold kaget, seisi kantin lebih kaget lagi. Saya cuek.
"Biar otak kamu lebih adem Ray, ga selalu panas bila melihat saya." dengan santai saya meninggalkan Ray yang berlumuran es jeruk ditingkahi tawa anak-anak yang siang itu tengah mengisi perut di kantin. Saya sudah tidak peduli lagi. Hati saya kesal bukan main. Ya Ray, kali ini dirimu kena batunya. Jaga mulutmu! Ini Tahun baru, maaf, sikap saya pun harus baru padamu. Tak mau saya menerima omongan pedasmu lagi. Tak mau saya disindir dan dilecehkan lagi. Siapa sih dirimu? Bukan apa-apa saya. Saya bahkan tak mengenalmu. Yang saya tau, dirimu selalu merasa tidak nyaman bila berdekatan dengan saya. Mengapa? Saya bahkan tidak mengenalmu.

***

Saya sendiri tidak ingat sejak kapan perseteruan antara saya dan Ray dimulai. Seingat saya, sejak menginjakan kaki di kampus ini sebagai mahasiswi, Raynold sudah membenci saya. Entah apa yang telah saya perbuat sehingga dia begitu kejam setiap kali melihat saya. Kata-kata pedis yang keluar dari mulutnya membuat kuping saya panas, hati saya ikut panas. Namun saya masih memaafkannya, dia tidak tau apa yang diperbuatnya. Karena saya, sama sekali tidak tau apa kesalahan saya. Kami bahkan tidak saling kenal!! Bayangkan, dua orang yang saling tidak kenal, namun Ray seakan telah memupuk kebencian pada saya jauh sebelum kami bertemu di kampus ini.

Tidur-tiduran sore di kamar kost saya yang cukup luas membuat saya kembali pada kejadian siang tadi. Kejadian di kantin, ya .. entah dari mana keberanian itu datang. Keberanian itu paling tidak telah membuka mata seorang Raynold, bahwa sikap diam saya selama ini bukan karena saya pasrah pada ejekan-ejekannya, melainkan saya lebih memilih untuk mengalah. Namun cukup sudah, ya .. cukup sudah dia berjaya dengan hal yang saya sendiri tidak tau kejelasannya. Kesalahan saya dimana?! Kami, sekali lagi, tidak saling mengenal! Ugh, bila saya mengingat semua kata-kata busuknya, ingin rasanya saya tadi tidak sekedar menyiraminya dengan es jeruk, melainkan dengan tamparan keras di pipinya. Cowok kok bermulut wanita!

Ketukan di pintu kamar membuyarkan semua lamunan saya.
"Ya .. siapa?!" tanya saya dari dalam. Malas rasanya diganggu sore-sore begini setelah pagi tadi hingga siang saya harus mengikuti kuliah. Capek.
"Ju .. ada temanmu datang." eh suara mbak Rika, penghuni kost tertua di tempat ini, usianya menginjak kepala tiga, namun belum menikah. Saya meloncat dari kasur dan membuka pintu.
"Teman saya mbak? Siapa? Si Mine? Atau ..." mbak Rika tersenyum dan mengedipkan sebelah matanya. Loh, ada apa ini.
"Sudah sana temuin .. masa cowok cakep gitu dibiarkan nunggu lama Ju? Rugi dong hehehe ... dah ya, mbak mau ke kamar dulu .." saya terkejut. Cowok? Dalam sejarah saya menjadi penghuni kost ini, belum ada satu teman cowok saya yang pernah bertamu ke sini. Dan sore ini, saya kedatangan tamu seorang cowok? Setelah sisiran dan merapihkan baju saya menuju teras depan kost. Dan apa yang saya lihat di sana? Raynold! Duduk dengan gagahnya di bangku teras ... gagah? Saya merutuki diri sendiri. Cowok banci seperti itu kok gagah? Uhm, mau rasanya kembali ke kamar, tak perlu meladeninya. Tapi hati kecil saya memaksa saya untuk duduk dan bicara.

Raynold mengalihkan pandangannya dari jalanan ketika menyadari kehadiran saya di situ. Tampang jahilnya selama ini entah disembunyikan di mana.
"Hai Ju .. maaf sore-sore begini mengganggu waktumu." eh? Apa tak salah? Dia mengenal kata sopan santun juga rupanya. Saya duduk di hadapannya. Mencoba membangun benteng pertahanan yang kuat. Ray telah saya anggap musuh. Saya harus siap.
"Ga pa pa. Ada perlu apa Ray?" tanya saya to the point. Terus terang, gerah juga rasanya duduk berdua dengannya. Kenapa di saat-saat begini, Raynold malah keluar gentlenya? Huh, kembali saya merutuki diri sendiri.
"Well, kamu mungkin sudah tau, kedatangan saya kemari untuk apa. Saya ingin minta maaf Ju. Atas semua kesalahan saya selama ini." saya, terus terang tidak kaget mendengarnya. Setelah dia berbuat salah, seharusnya memang meminta maaf kan? Saya menarik napas panjang.
"Yup, ga pa pa kok Ray, sudah saya maafkan. Saya juga minta maaf, siang tadi ga bisa mengontrol emosi ... sudah terlalu lama saya tahan marah itu." kali ini saya berkata jujur. Ya, saya juga salah.
"Tidak Ju, kamu ga salah apa-apa. Saya lah yang bersalah dan bermasalah. Yea .. mungkin kamu akan bilang saya ini abnormal. Saya terima kok dibilang begitu." saya hampir tertawa mendengarnya. Abnormal? Sama dengan gila kan? Hanya karena kejadian demi kejadian selama ini, saya menganggapnya gila? Tak mungkin, sama sekali ga ada pikiran seperti itu di dalam kepala saya, yang ada hanya rasa heran dan kesal.
"Uhm, ada-ada saja kamu Ray. Kenapa saya harus menganggap kamu gila sih?" kata saya lagi. Ray mengusap wajahnya, mengacak pelan rambutnya. Demi Tuhan, tampan sekali dia. Segera saya tepis pikiran itu.
"Karena saya ... uhm ... karena saya mencintai kamu, sejak pertama kali melihatmu di kampus. Dan cinta saya bertambah setiap kali melihat ekspresi marah dan kesal dari wajahmu. Sungguh .. saya .. ah, sudahlah .. kamu toh akan menganggap saya gila .." saya, mungkin juga siapa pun yang mendengar ini akan mendapat serangan jantung seketika. Saya betul-betul kaget mendengar pengakuan seorang cowok. Cowok yang justru selama ini telah membuat hari-hari saya panas bagai di neraka.
"Ray, saya tidak tau harus bilang apa sekarang ... saya ..." kata-kata saya tak berarah, tak bertujuan. Saya tatap matanya. Namun tak lama ... mata itu begitu tajam menusuk relung-relung hati.
"Saya ga memaksa kamu untuk menerima cinta saya yang aneh ini Ju. Saya sadar, kita bahkan tidak saling berkenalan secara formil ... yang jelas, ini adalah kata hati saya yang sesungguhnya, saya aneh ... saya pamit .. Assalamualaikum." saya terperangah ...
"Wa'alaikumsalam Ray ..." saya tatap punggungnya yang menjauh, hilang di dalam mazda hitamnya. Saya menarik napas panjang .. lagi dan lagi .. Ray, hidup saya seakan terbebani dengan hal-hal yang kamu tawarkan.

***

Mata Farah, sahabat saya terbeliak. Baru selesai cerita saya padanya tentang kedatangan Raynold kemarin. Termasuk tentang cinta Raynold.
"Hah?!!! Edan apa si Raynold! Huh .. tapi .. cakep sih Ju." Farah mengedipkan matanya. Saya tertawa menanggapinya.
"Trus kamu jawab apa? Suka juga? Jangan deh Ju, kasih dia waktu dong. Masa sehabis perang langsung merit? Ga lucu tauk!" saya memukul pundaknya. Gemas sekali mendengar celotehnya.
"Uhm .. saya ga tau. Kita lihat saja nanti deh .. oke?" Farah mengangguk setuju. Kita berdua tersadar saat melihat jam, hampir saja terlambat mengikuti kuliah. Bergegas kita menuju kelas. Perhatian saya, tidak bisa terfokus pada mata kuliah yang diberikan. Pikiran saya, hati saya melayang tak menentu di udara bebas. Yang kesemuanya berakhir pada sosok Raynold. Pada wajahnya di sore kemarin, tampan dan gentle.

Pulang kuliah, saya dah Farah berniat langsung ke Gramedia, mencari novel atau buku-buku bagus. Sudah kebiasaan kami untuk saling share dalam soal buku dan novel. Belinya kadang patungan. Namun hasil akhir dari buku-buku tersebut adalah di rak buku kamar saya. Alasan Farah, di rumahnya masih ada adik nya yang suka mengobrak abrik kamar milik gadis bermata coklat itu. Saya, yang memang menyukai novel, buku, majalah dan sejenisnya enjoy saja dengan semua itu. Toh saya lebih beruntung, karena bila ingin membaca, tinggal mencari di rak buku.

Saat kami berdua sedang menunggu angkot itu lah, mazda hitam berhenti tepat di depan kami. Ah, pasti Raynold. Betul, itu memang Raynold. Dia turun dari mobil, menghampiri kami berdua.
"Hai Ju, hai Farah ..." Farah menginjak kaki saya keras. Aduh, sakitnya.
"Hai Ray .." balas saya santai.
"Mau kemana?" tanya Raynold. Belum sempat saya menjawab, Farah telah mendahului saya.
"Ke Gramedia .. dari tadi ga ada angkot yang lewat. Kalau pun ada, terlalu penuh ... " Ray mengangguk-angguk.
"Kalau gitu sekalian sama saya saja yuk?! Biar saya antar ke Gramedia." tawaran yang so so sweet. Farah langsung setuju. Saya masih bimbang. Haruskah? Haruskah saya menerima niat baik Raynold? Tak perlu berpikir lama, karena Farah telah menyeret saya untuk masuk ke mobil Raynold. Saya, antara sadar dan tidak duduk berdua Farah di belakang. Saya tau, sesekali dari spion Raynold melempar pandangan matanya ke saya. Saya pura-pura tidak tau saja. Farah, lagi lagi menginjak kaki saya. Oh please Farah, bisa memar kaki saya diinjak-injak terus dari tadi.

Di Gramedia kami hanya sebentar. Buku yang dibeli Farah adalah novel karya Sidney Sheldon, Nothing Last Forever. Well, saya juga menyukai buku tersebut. Sepulang dari Gramedia Raynold tidak langsung mengantar saya dan Farah, melainkan mengajak kami makan. Menawarkan sebuah kebaikan lagi? Saya pasrah, Farah sangat tidak bisa menolak bila digratisin.
Saya lebih memilih gado-gado dan es jeruk. Melihat es jeruk, ekspresi Raynold jadi aneh. Memori saya mengajak saya bermain dengan kejadian dua hari lalu di kantin sekolah. Betapa kejadian saat ini begitu bertolak belakang dengan kejadian dua hari lalu itu.
"Ehm .. Ju, kamu ga akan menyirami saya dengan es jeruk lagi kan?!" canda Raynold membuat Farah dan saya tertawa.
"Tidak, tentu saja tidak ... " jawab saya disela-sela tawa.
"Oh, syukurlah!" kami pun mulai makan. Lagi-lagi Raynold melemparkan pandangan matanya pada saya. Jangan tuntut saya dengan mata kamu Ray, saya belum bisa menjawab apa-apa. Saya tak mampu memberi harapan padamu, pada cinta siapa pun jua. Saya belum yakin, mampukah saya mencintai seseorang? Siapa pun dia, dirimu atau cowok lain, saya belum yakin. Saya belum pernah mencintai. Setelah mengisi perut kami pun pulang. Raynold, dengan sengaja atau tidak, mengantar Farah terlebih dahulu.
"Oke Ju, saya duluan yah" kata Farah sembari turun dari mobil. Saya menjadi kalut seketika. Semobil berdua Raynold?
"Uhm .. Ju .. pindah ke depan yuk, masa duduk sendiri di jok belakang?" sudah saya duga, kejadiannya akan seperti ini. Saya turun dari mobil, masuk lagi dan duduk di depan, bersebelahan dengan Raynold. Duduk diam membisu sampai mobil Raynold kembali membelah jalanan.
"Uhm .. Ju." kebiasan Raynold yang saya catat hari ini, berbicara dengan kata Uhm terlebih dahulu. Gugup kah?
"Ya saya?" saya menoleh, dia tetap menatap ke depan, ke arus lalu lintas yang ramai.
"Saya mau tanya, tentang .. uhm .. tentang perasaan Ju, terhadap saya." saya menelan ludah. Cowok ini, penuh kejutan. Apakah membiarkannya hidup di dalam hati saya akan membuat saya bahagia?
"Perasaan saya? Maksut Ray .. jawaban saya pada cinta Ray kan?" tebak saya. Raynold mengangguk pasti.
"Saya masih belum bisa Ray. Belum bisa menjawab sekarang. Apalagi memberi janji sekarang. Kita lihat saja nanti yah?" jawaban yang sama saya berikan pada Farah. Raynold mengangguk lagi.
"Oke ... saya tunggu ... saya akan selalu tunggu ... ngomong-ngomong, liburan ini kamu mau kemana? Mudik ke Surabaya? Atau ke Solo, ke tempat mbah?" saya terperanjat. Lagi-lagi cowok ini mengejutkan saya. Dari mana dia tau tentang keluarga saya?
"Maaf .. jangan kaget dulu dong. Saya mencintaimu Ju, saya juga harus mencintai keluarga kamu ... Jangan dikira selama ini, selama saya mengejek kamu itu, saya diam-diam saja. Saya mencari tau semua informasi sedetailnya tentang dirimu ..." ya Tuhan. Dia sungguh aneh, namun tidak gila.
"Boleh .. kenapa tidak boleh mencari tau tentang saya? Seperti asl pls dalam berchating kan?" dia tertawa, memamerkan barisan giginya yang putih. Mobil memasuki ujung jalan kost. Kemudian berhenti tepat di depan kost-an saya.
"Makasih Ray atas hari ini." kata saya tulus. Dia menggeleng.
"Apa yang saya lakukan ini karena cinta ... jangan ada kata terima kasih. Saya ga minta pamrih ... saya hanya menunggu jawaban hati kamu ..." saya mengangguk dan turun dari mobil. Mazda hitam itu melesat pergi. Saya pun melangkah masuk.

Memasuki kamar saya, hati saya tertambat pada sebuah boneka panda besar yang diletakkan di atas kasur. Dari siapa? Cepat-cepat saya meraihnya, mencium harumnya panda biru itu. Ada secarik kertas yang menempel di lehernya. Tulisan tangan, tak begitu bagus, namun kata-katanya bagus.

Ju,
Ini untukmu .. saya, Ray

Ah, dari dia ... jadi ... kapan dia membawanya kemari? Saya menoleh ke pintu begitu mendengar suara pintu dibuka. mbak Rika dan Mila.
"Hei, dah pulang? Tadi si .. siapa namanya? Oh Ray, ngantar itu kemari. Katanya buat kamu Ju. Ehem ehem ... cakep loh Ju ... time to get love now! Jangan ngejomblo terus hihihi, lagian bulan depan kan Valentine Ju .." ceracau Mila membuat saya tersadar, ini lah aksi cinta Raynold. How sweet yah?
"Iyah Ju, terima saja. Mbak lihat dari matanya, dia serius sama kamu. Lagian apa salah nya mencoba sesuatu yang baru?" mbak Rika menimpali. Saya terdiam. Mencoba sesuat yang baru? Andai saya mereka tau, Raynold itu bukan sesuatu yang baru, dia musuh ... musuh dalam selimut cinta, atau cinta dalam selimut musuh ... whatever.
"Ah, dia teman kok. Teman kuliah. Bukan hal baru kan?" jawab saya.
"Kalau gitu mah terima saja Ju ... " ujar Mila lagi. Saya butuh waktu!
"Uhm ... nanti deh .. saya kan harus pikir-pikir dulu .. oke?" kata saya lagi. Semenit kemudian mbak Rika dan Mila meninggalkan kamar saya. Saya sendiri, mengunci kamar dan terbaring di atas kasur. Memeluk panda biru itu disamping saya. Blue Panda .... saya jatuh tertidur.

***

Keesokan pagi, bayangkan, keesokan paginya saya baru bangun. Masih dengan pakaian kuliah. Betapa joroknya saya. Tertidur .... dengan panda dalam pelukan, lelap. Perut saya berbunyi. Bahkan saya tidak bangun saat makam malam tiba. Saat keluar kamar, mbak Rika menyapa saya di ruang makan. mbak Rika, menyelesaikan makannya dengan santai.
"Ju, semalam Ray nelpon. Tapi kamu ga bangun-bangun saat mbak gedor pintu kamar. Pulas sekali tidurnya?" tanya mbak Rika saat saya mengambil satu bungkus mi instant dan satu butir telur.
"Iya mbak, sampai kelaparan begini hihihi ..." jawab saya. Ray menelepon?
"Katanya pagi ini dia mau nelpon lagi Ju." lanjut mbak Rika. Saya tersenyum. Baiklah kalau dia menelepon lagi, siapa takut? Saya ke dapur, membuatkan sarapan yang amat sederhana, mengisi perut yang terus berbunyi. Selesai sarapan, saya langsung mandi dan duduk santai di ruang tamu, ngobrol sama Keke, salah satu penghuni kost di sini. Tiba-tiba telepon berdering. Saya memandang Keke, Keke balas memandang saya. Saya tetap diam.
"Oke oke, saya yang ngangkat!" Keke menerima telepon.
"Oh .. ya ada .. Juuuuu telepon." saya bangkit, menerima gagang telepon darinya. Suara Raynold di seberang.
"Ju, semalam saya telpon, tapi kamu sudah tidur. Sudah sarapan? Hari ini ada kuliah ga?" saya mencoba mencari kata yang tepat.
"Sudah, baru selesai sarapan Ray. Kuliah nanti jam sebelas." jawab saya. Ray mendesah. Entah karena apa.
"Uhm .. kalau begitu, nanti malam saya ajak kamu keluar boleh?" ya Tuhan Ray, ... saya bahkan belum sempat bilang terima kasih soal boneka itu.
"Nanti malam? Saya usahakan bisa ... eh .. saya mau bilang, terima kasih atas bonekanya ya ..." kata saya.
"Ya ya .. boneka gitu aja kok Ju .. oke .. nanti malam, saya jemput jam tujuh ya, bye .." dia menutup telepon. Saya terpaku di tempat. Nanti malam? Ah Ju, ada apa dengan dirimu, mau diajak cowok itu keluar malam-malam? Apakah panda itu telah menjeratmu? Saya ingin meralat, namun ... saya pasrah. Keke menatap saya dengan pandangan mata yang penuh arti.
"What?!" saya pelototin dia. Keke tergelak. Ya .. berita tentang Ray dan pandanya pasti telah tersebar luas ke seluruh penghuni kost.

Siang itu saya mengikuti kuliah dengan tekun. Harus bisa konsentrasi! Setelah kuliah saya pulang bareng Farah. Farah berharap Ray akan muncul dengan mazda hitamnya. Saya menggeleng. Akhirnya kita pulang dengan angkot terakhir, menurut kita sih begitu, yang tidak terlalu penuh penumpang di dalamnya. Saya sengaja tidak menceritakan kedatangan Ray nanti malam ke kost. Saya takut Farah histeris mendengarnya, saya simpan saja dalam hati.

***

Jarum jam menunjuk angka tujuh, Raynold benar-benar datang. Saya pamit pada ibu kost, keluar bersama Raynold, dengan catatan di bawah jam sebelas Raynold sudah harus mengantar saya pulang.

Malam ini, saya berdua Raynold keliling kota. Berdua dengan nya di dalam mobil, diiringi alunan musik lembut dari radio memberi getar-getar halus dalam hati saya. Ini kali pertama saya keluar bareng cowok. Cowok yang dengan nyata telah menyatakan cintanya pada saya. Saya diam, tak banyak bicara, menjawab bila ditanya. Raynold sendiri lebih suka bersenandung mengikuti lirik lagu yang sedang mengalun.

Malam ini kami makan di restoran mewah. Saya sebenarnya tak setuju, tak cocok rasanya saya masuk ke restoran seperti itu. Namun Raynold tanpa ragu menggenggam erat jari saya dan mengajak saya menuju meja yang paling pojok. Saya patuh, seperti anak patuh pada orang tua, seperti kerbau patuh pada pak tani. Saya tidak dapat pungkiri, saya menyukai moment seperti ini. Saat Raynold memandangi saya, hati saya bergetar halus. Apakah ini? Cinta? Saya tak tau, sampai acara malam ini selesai dan Raynold mengantar saya pulang, desir-desir halus dalam perasaan saya masih terus mengalir.

"Ju, thanks atas malam yang indah ini ... " hanya itu kata Raynold saat mengantar saya pulang. Saya masuk kamar, berganti pakaian, memandang sendu pada blue panda yang tergolek diantara bantal. Saya harus tidur ...

***

Sudah sebulan lewat. Sebulan saya bermain dengan rasa-rasa indah di dalam hati ini. Haruskah saya pungkiri kalau saya ternyata mencintai Raynold? Saya tau, mencintai itu tidak mudah. Butuh waktu juga agar cinta itu bisa tumbuh. Dan Raynold yang *jahat* telah berubah menjadi Raynold yang baik. Raynold yang menjaga saya siang dan malam. Raynold yang mencurahkan semua kasih dan sayangnya pada saya. Ya, saya mencintainya. Mencintai cowok yang dulu selalu berusaha menyakiti saya, namun itu bentuk cintanya. Cowok aneh. Saya tertawa, tertawa lepas. Ini kah namanya cinta? Keinginan untuk terus menatap bola indah matanya? Keinginan untuk terus mendapatkan perhatian tulusnya? Keinginan untuk memiliki sosok Raynold seutuhnya tanpa mau berbagi dengan orang lain? Saya mencintainya kah?

"So .. gimana Ju?!" tanya Farah pada saya di suatu senja saat kita berdua tengah menikmati alunan lembut Jojga-nya Kla. Saya menoleh.
"Gimana apanya?" tanya saya. Farah mendelik. Aduh teman saya yang satu ini.
"Soal Ray. Bentar lagi valentine loh .. duhai Ju yang manis, berilah jawaban yang menggembirakan! Raynold pantas mendapatkannya!" saya tersenyum penuh arti. Jawaban yang menggembirakan? Cinta?
"Gimana?!" tanya Farah lagi.
"Ya ... lihat saja nanti ..." Farah melempari saya dengan bantal. Saya mengeluh sakit.
"Ugh, kalau saya jadi kamu Ju, sudah saya terima si Raynold sejak pertama kali dia nyatain cinta ke saya!" kata Farah sengit. Ah Farah, saya kan saya, bukan kamu, batin saya. Farah terdiam, ngambek. Saya diam juga. Memeluk panda dengan hangat. Sehangat rasa yang mengalir di dalam hati. Sehangat hari-hari saya bersama Raynold. Diantar ke kampus, diantar ke kost, diajak keluar bareng. Hunting cd dan novel. Atau sekedar menikmati, ehm, es jeruk di pojok kantin. Menurut anak-anak kami telah pacaran. Menurut kami berdua, kami belum pacaran. Karena saya belum menjawab.

***

Malam ini, 13 Februari. Besok Valentine. Apa yang harus saya lakukan? Memberikan jawaban gembira untuk Raynold? Saya mendesah, menatap panda biru lagi. Panda, beri saya cara, jalan keluar. Pintu kamar saya diketuk. Suara Keke diluar.
"Ju, Ray datang." saya segera membuka pintu, Keke menatap saya penuh arti. Saya tersenyum dan melangkah menuju teras. Disana, dibawah siraman sinar bulan dan neon, Ray duduk. Seperti kedatangan pertamanya dulu untuk meminta maaf dan memberi cinta. Saya mengagetkannya.
"Dorrr!!!" dia terlonjak. Diacaknya rambut saya dan mengajak saya duduk.
"Ju ... uhm ..." saya menggeleng. Cukup suda dirimu berbicara Ray. Cukup. Kali ini saya yang akan berbicara.
"Ray, biar saya yang ngomong yah? Ray diam dulu bisa?" pinta saya. Dia mengangguk setuju. Saya duduk disampingnya, menarik napas dalam. Saya siap. Sesiap hati saya menerima cinta Ray di dalam hati saya.
"Ray, be my Valentine ..." Ray terkejut. Dipandangi saya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Antara percaya dan tidak.
"Itu yang ingin saya katakan juga padamu malam ini Ju ... be my Valentine .. would you?!" saya mengangguk pasti. Sepasti saya akan cinta ini. Ray menarik saya ke dalam dekapannya.
"Saya menunggu lama untuk kata itu Ju .. sebulan lebih ..." saya mendongak, menatap binar bahagia di matanya, bahagia hati saya juga. Ray tertunduk, mencium bibir saya lembut. Tak lama, namun membekas di hati saya. Di dekapnya saya kian erat ke dalam pelukannya. Saya berkata dalam hati, Ray, jangan lepas lagi lingkar tanganmu di tubuh saya ... saya menginginkanmu, cintamu, hatimu, utuh .. Seutuh saya mengenal cinta dan mencintaimu.
"Cinta saya mungkin aneh ya Ju. Cinta yang menjengkelkan hatimu. Saya tidak pandai merayu. Maka saya pilih jalan *perang* untuk mendapat perhatianmu." Raynold mengenang kembali masa-masa dimana setiap hari saya selalu menjadi bahan obyekannya untuk menyindir dan mengeluarkan kata-kata pedas yang tidak enak di dengar.
"Sudah lah ... tapi Ray belum menjawab ... be my Valentine?" tanya saya lagi.
"I will .... " digenggamnya jemari saya erat.

Malam terus merambat. Bulan tersenyum tanpa awan menghalangi. Cinta itu kadang aneh. Satu hal yang pasti, mencintai itu indah, namun lebih indah bila dicintai dan saling mencintai. Cinta hal yang misterius. Siapa pun yang tercemplung ke dalamnya akan terputar dalam arus emosi yang meluap-luap. Cinta, adalah cinta.

0 komentar:

Posting Komentar